Kamis, 19 Mei 2011

Entahlah


Hujan dari tadi sore membuatku membeku malam ini. Mungkin kau berpikir aku dapat tidur nyenyak dalam selimut ini. Tapi kenyataannya tidak. Meski dingin menyapa dan mengajak untuk bergelung ditempat tidur yang hangat, aku sama sekali tidak bisa tidur memejamkan mata, kenapa??
Jawabannya masih sama dengan kenapa hidupku akhir- akhir ini seperti dineraka, atau siapa yang membuat hari- hariku lesu tidak bersemangat??
Kamu..
Malam ini, seperti biasa. Bayang mu terbaring disampingku membuatku tak tahan untuk tidak menyentuhmu. Aku memang punya sedikit masalah dengan kontrol diri, tapi kali ini semakin menjadi- jadi. Lama- lama aku bisa benar- benar gila dibuatmu. Kenapa kau tidak bisa membuatku berhenti ngos- ngosan seperti sedang lari pagi ditengah malam begini. Sudah pergilah dari sini, aku ingin tidur nyenyak.
Lihatlah disudut sana, cangkir bekas kopi berserakan. Awalnya aku pikir benda- benda itu bisa membuatkku sedikit melupakanmu. Kata orang kafein punya efek yang bisa membuat bahagia, bahkan lebih frontal, analgetik menghilangkan rasa sakit. Aku awalnya juga percaya, tapi sekarang sudah tidak.
Aku sudah meminum puluhan cangkir kopi, tapi itu tetap tidak bisa membuatku beberapa senti lebih waras. Atau haruskah aku mencoba sedikit lebih ekstrim, whisky atau sejumput ganja yang katanya wangi itu?? Ah.. aku tidak segila itu. Jadi, tolonglah saying, berhentilah menghantuiku.
Aku menggigil. Padahal pintu dan jendela sudah kututup rapat- rapat. Aku mencoba bertanya pada dinding dan lantai. Karena aku tau Tuhan belum mau menjawab pertanyaanku. Tapi ternyata semua sama saja. Tidak satupun dari pertanyaanku bisa dijawab. Mungkin aku menderita penyakit cerdas yang berlebihan. Atau semua hanya sedang berpura- pura. Dia memeng sering berpura- pura dihadapanku. Kau jadikan hidupku hambar seperti bubur gandum sejak kau tak lagi bicara padaku. Aku kini sadar, kadangkala kejujuran dan ketulusan bisa mengacaukan segalanya.
Berbicara denganmu sama saja seperti bicara pada dinding. Aku mulai pembicaraan, kau berpalinng. Seolah- olah aku ini hantu yang tak perlu didengarkan. Dan pandanganmu itu. Ohh.. berhentilah memandangku seperti itu, seakan aku seorang kriminil.
Berbulan- bulan sudah aku menyalahi diriku, kenapa aku bisa mengagumimu segila ini. Apakah kau ingin membuat ini menjadi menahun?? Tolong jangan, aku sudah tidak kuat. Aku benar- benar membenci diriku karena menggilaimu segini hebatnya. Cintaku tidak semudah cerita- cerita novel ataupun opera romantic yang selalu berakhir bahagia. Aku ingin membuatmu mengerti, disaat aku tau kau tak kan pernah mengerti.aku juga tak ingin terlalu egois memaksamu untuk mengerti. Aku paham betul, keegoisan tidak akan menghasilkan apa- apa.
Aku menyerah sekarang. Aku tau Tuhan tidak menakdirkan kamu untukku dalam cerita ini, jadi untuk apa aku memaksa?? Aku bukan sutradara. Aku ini hanya aktor kacangan yang selalu dapat peran figuran. Aku tentu saja tidak perlu ngotot meminta peran utama, menjadi pasanganmu peran yang aku inginkan. Ikuti saja instruksi dari sutradara pintar itu. Aku memang sudah dibayar untuk adegan yang Ia inginkan. Adegan percintaan panas dengan makhluk manis bernama “sepi”, harus dilakukan dengan sempurna walaupun aku selalu memainkannya dengan setengah hati. Si- sepi itu sudah jatuh hati padaku. Entah apa pesonaku yang membuat dia mengutitku setiap siang dan malam dalam hidupku. Aku tidak berhak menyuruhnya pergi dan melupakan perasaan gilanya itu. Dia berhak mencintaiku. Sama seperti hakku mencintaimu.
Aku putuskan untuk keluar dari selimut hangat ini. Dan menuju teras, menemani hujan yang jatuh sendirian sedikit lebih nyaman dari pada harus sendirian atau bercumbu dengan si-sepi dibawah selimut.
Sesekali kuseruput kopi hangatku, tapi kali ini tanpa asumsi kopi bisa membuat bahagia atau membuatku beberapa senti lebih waras lagi. Satu yang mulai kusadari, sepertinya hujan juga mulai jatuh hati padaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar